Jumat, Juni 24, 2011

SOSOK JUBAH HITAM

SOSOK JUBAH HITAM

Aku hanya seorang peri gigi yang senang bercerita. Namun aku hanya pencerita pemula. Setiap akhir pekan kuharap aku tak ada pekerjaan sehingga bisa menghibur anak kurcaci yang sedang dilanda rindu...


Oh, ada sekelompok kurcaci yang menghampiriku... apa mereka tertarik mendengar ceritaku? Entahlah...


"Hai peri gigi, ceritakanlah satu kisah pada kami," kata seorang kurcaci berbaju kuning


Aku menghela napas, "Apa kalian yakin ingin mendengar kisah dari bibirku?"


"Tentu. Kami ingin mendengarnya," serempak mereka berkata.


"Tapi ini cerita suram," kataku sambil memilin rambut coklatku.


"Apa judulnya?" sahut yang berbaju biru


"Sosok jubah hitam,"


"Kami ingin mendengarnya!" seru mereka serempak. Aku menghela napas kembali. Rona wajahku memerah. Senang.


"Baiklah..."

Qaren baru pulang dari perjalanannya. Rona wajahnya memancarkan kepuasan. Seorang pria dewasa yang telah lama menunggunya segera menyuguhkan kopi.
“Siapa sekarang?” Tanya pria itu singkat.
“Hanya manusia sampah.” Jawab Qaren tenang sambil menyeruput kopinya. “Ada yang mencurigaiku?” Gantian Qaren yang bertanya.
“Yah, ’dia’ mengadakan rapat soal ‘itu’ lagi hari ini.” Jawab pria itu sambil membereskan perlengkapan yang dibawa Qaren.
“Ck.” Qaren geram mendengar itu.
“Apa yang harus kulakukan?” Pria itu seketika bersimpuh di kaki Qaren. Qaren berpikir sejenak.
            “Bunuh dia.” Qaren tersenyum sinis.
            “Baiklah.”
Ω
Matahari bersinar cerah. Membuktikan pada dunia bahwa ia lah yang paling semangat menyambut hari baru. Suasana itu turut mempengaruhi hati Eli. Ia berlari menuju kakaknya, Rio, yang tengah duduk di bangku taman sekolah. Napasnya pendek-pendek dan seragamnya penuh peluh ketika sampai di bangku sebelah Rio.
“Kau lama sekali.” Kata Rio sewot mengangkat wajahnya dari balik koran dan memberi Eli kotak bekalnya.
“Maaf. Aku baru bertemu kak Qaren.” Ujarnya sangat semangat.
“Mengapa ketua OSIS itu?” Rio tertarik dengan topik yang dibawa Eli.
“Ini.” Eli menunjukkan luka lecet yang tertutup kassa dilututnya.
Rio bingung. “Lalu?”
“Aku jatuh di tangga saat berlari ke sini.  Saat aku meringis kesakitan, kak Qaren lewat di depanku dan serta merta mengobatiku dengan kotak obat yang sudah standby ditangannya. Oh, ia sungguh baik ya, kak.” Mata Eli berbinar-binar.
Rio tersenyum melihat tingkah adiknya, kemudian berpikir. Dia sudah penasaran dengan teman sekelasnya itu sejak pertama bertemu. Qaren yang baik, selalu menjadi juara kelas, ketua OSIS, namun jarang masuk ke kelas terutama setelah istirahat. Entah bagaimana cara ia belajar.
“Kak! Itu kak Qaren dan dokter Sui!” Gadis berkacamata tipis itu menunjuk ke arah jam dua. Tampak dua sosok manusia yang berjalan berdampingan, Qaren dan dokter penjaga UKS, Sui. Satu lagi hal yang membuat Rio penasaran. Qaren sering sekali bersama dokter itu. Gosip yang beredar berkata bahwa mereka pacaran. Tapi, ayolah, anak umur enam belas ‘pacaran’ dengan pria berumur sekitar tiga puluh?
“Mereka benar-benar pacaran ya?” Gumam Rio yang terdengar Eli.
“Mungkin saja. Walaupun dokter Sui berusia 28 tahun, ia masih tampak muda.” Kata Eli. “Kau sedang baca apa, kak?” Eli penasaran dengan koran yang daritadi dipegang kakaknya.
            “Berita eksternal sekolah. Darker beraksi lagi.” Kata Rio lesu. Darker adalah julukan seseorang berjubah hitam dan bertopeng besi yang kini berkeliaran di kota tempat Rio dan Eli berada. Awal dia muncul, sudah tiga orang yang mati mengenaskan di daerah Biun. Polisi tidak dapat melacaknya. Dari kamera CCTV yang dipasang di daerah itu, tampaklah sosok mengerikan itu beraksi. Ia mencengkram kepala korbannya dan perlahan-lahan korban itu menghitam hingga mati. Lalu tiba-tiba ia menghilang begitu saja.
            Wajah Eli memucat. “Siapa korbannya, kak?”
            “Kevin Grass. Warga daerah Biun. Seperti biasa, tewas membusuk.”
            Eli menghela napas, “Dia selalu beraksi di daerah itu ya. Motif dendam mungkin ya.”
            Rio mengangkat bahu.
Ω
Qaren dan dokter Sui sampai di ruang UKS. Qaren langsung merebahkan tubuhnya di kasur.
“Aku akan melaksanakan rencana itu malam ini. Kau akan keluar lagi?” Tanya Sui.
“Tentu. Tapi sekarang aku lelah. Pastikan kau tidak meninggalkan jejak.” Qaren menutup matanya.
“Tidak ikut kelas sejarah?” Tanya Sui lagi.
“Pelajaran yang membuatku tahu sesuatu yang menyebabkan aku sebatang kara?” Qaren menatap tajam Sui. “Kau saja yang menghadirinya.” Qaren kembali menutup mata dan tertidur. Sui tersenyum menatap anak cerdas namun mengerikan yang dikaguminya itu.
Sui mendekati Qaren. “Aku akan selalu setia padamu, Darker.” Gumamnya pelan.
Ω
Rio gelisah melihat bangku di sebelahnya kosong. Seharusnya Qaren disana dan mengikuti pelajaran sejarah ini. Namun hingga menjelang pergantian kelas, Qaren tak juga nampak.
“Dimana gadis itu?” Gumam Rio.
“Pssst. Rio! Kau kenapa?” Tanya Genta yang duduk di belakang Rio.
“Kau tahu dimana Qaren?” Rio balik bertanya.
Genta mengangkat bahu. “Mungkin di UKS seperti biasa. Tubuhnya kan memang lemah. Kau seperti tidak tahu saja.”
Bel berbunyi. Rio membereskan peralatannya dan bersama beberapa temannya berjalan menuju laboratorium menghadiri kelas pengobatan. Beberapa siswa tampak hadir lebih dulu. Diantaranya… Qaren!
“Kau sudah di sini?!” Rio menegur Qaren yang tampak anggun memakai jas lab. “Mengapa kau tak hadir di kelas sejarah?”
Qaren tersenyum sangat manis. “Maaf. Aku tertidur setelah minum obat di UKS. Sudah sampai mana pelajaran kita?” Kata Qaren ramah.
Rio ikut tersenyum. Qaren memang gampang akrab walaupun dengan Rio yang di cap ‘kutu buku’. “Bab baru, asal mula sihir. Aku berencana ke perpustakaan setelah ini.”
“Wah, kau bisa menyabet gelar juaraku jika terus begini.” Ujar Qaren masih dengan senyumnya. “Kalau begitu aku juga ikut denganmu ke perpustakaan.” Lanjut Qaren.
“Boleh saja.” Kata Rio. Kelas dimulai. Mereka mendapat tugas membuat penawar  racun tumbuhan kiolier. Tumbuhan yang jika terhirup serbuknya, akan membuat halusinasi mengerikan yang baru hilang seminggu kecuali langsung diberi penawar. Suasana begitu serius, sampai sebuah keributan terjadi.
PRANG!
“KYAAA…”
Suara pecahan kaca dan teriakan dari ruang kepala sekolah membuyarkan konsentrasi seluruh pelajar di sekolah. Tanpa dikomando, siswa serta guru berlari mengerumuni ruang kepala sekolah yang suasananya berubah angker.
“Apa yang terjadi?” Tanya Rio pada Qaren. Namun Qaren telah menghilang dari pandangannya.
Saat mencari Qaren, mata Rio menangkap anggota UKS dan Eli mengevakuasi seseorang. Rio begitu syok melihat korban yang ternyata kepala sekolah yang tak lain ayahnya sendiri terbujur kaku tertutup es. Kepala sekolah mati beku!
“AYAAAH!!!” Teriak Eli. Rio menghampiri Eli. Dipeluknya Eli yang menangis meraung-raung. Rio ikut menangis. Pelukannya pada Eli dikuatkan.
“Apa yang terjadi pada ayah, kak?” Ratap Eli.
Rio berusaha menenangkan adiknya. Ketika melihat dokter Sui, Rio menitipkan adiknya pada teman sekelas Eli dan menyusul dokter Sui.
“Apa yang terjadi dengan ayahku?” Tanya Rio pada dokter Sui.
“Beliau dibekukan.” Jawab Sui tenang.
“Bagaimana bisa?” Wajah Rio pucat.
Dokter Sui menggeleng pelan. Rio menangis tertahan. Usapan lembut menyentuh punggung Rio.
“Setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. Setiap kehidupan pasti ada kematian.” Kata Qaren tersenyum menenangkan sambil mengusap  punggung Rio.
Rio menepis tangan Qaren. Ia berlari menjauhi keduanya.
“Mengapa kau membunuhnya secepat ini? Bukankah baru kau bunuh nanti malam?” Qaren menggeram jengkel pada Sui ketika Rio tak kelihatan lagi.
“Maafkan aku. Ini semua salahku sampai dia tahu lebih cepat.”
Qaren mengerti yang terjadi. Ia membelalak pada Sui.
“Kau menyebut julukanku saat aku tidur dan ketika itu kepala sekolah masuk UKS?” Sinar mata Qaren tajam menatap Sui.
Sui mengangguk lemah.
Qaren menghela napas. “Apa ada yang melihatmu?”
“Tidak. Aku menutup pintu dan menghilang dengan salju ‘bakat’-ku.”
“Baguslah. Kau memang pembunuh berdarah dingin.” Qaren berjalan meninggalkan Sui sendirian.
“Kau memang pembunuh berdarah setan.” Sui tersenyum menatap punggung Qaren.
Ω
Rio baru sadar ia berlari sampai perpustakaan. Eli memberitahu bahwa urusan pemakaman ayahnya sudah diatur oleh sekolah. Sekarang murid beserta guru sedang di rumahnya. Rio mengurungkan niat untuk pulang. Ia memilih menyibukkan pikirannya dengan membaca.
Matanya tertuju pada buku di rak sejarah. “10 Klan Hitam di Dunia”. Tangan Rio tergerak mengambil buku itu.
Klan Devligen menempati urutan pertama klan hitam. Rio meringkas isi bab itu dicatatannya.
Klan Devligen : (1876-1994) anggota klan ini memiliki bakat ‘membusukkan’ apapun yang disentuh sesuai kehendak mereka. Klan ini memiliki klan pengikut setia, yaitu Demonly. Klan Demonly juga memiliki bakat istimewa, yaitu ‘membekukan’ apapun yang disentuh sekehendak hati.
Rio tersentak. “Membekukan”?. Rio teringat ayahnya. Apa itu ulah Demonly? Rio meneruskan bacaannya.
…Tidak diketahui apakah klan ini masih ada atau tidak. Namun sebagian besar klan Devligen dipastikan punah. Klan yang dianggap pengikut setan ini meresahkan lingkungan tempat mereka tinggal. Adalah Himitsuri seorang biksu dari Bolero (sekarang Biun) sang pengusir setan dimintai tolong oleh warga. Himitsuri yang menyanggupi permintaan itu, mendatangi rumah klan Devligen (1994). Ia membasmi anggota klan itu dengan tanaman kiolier yang membuat klan itu saling membunuh.
Topik itu selesai. Rio mencari keterangan tentang klan Demonly yang kemungkinan besar adalah pembunuh ayahnya. Namun hasilnya nihil. Tak disadarinya hari sudah malam. Saat mencari info di rak lain, dua sosok manusia berjalan di lorong perpustakaan. Qaren dan dokter Sui!
Rio menatap arlojinya. 22.05. Ia bertanya-tanya mengapa sudah larut begini mereka masih berkeliaran di sekolah. Baru diingatnya bahwa sekolah memang tidak pernah dikunci karena setiap ruangan memakai pengaman yang menggunakan tanda pengenal untuk memasukinya, kecuali saat siang.
Rio mengikuti mereka. Ia bersembunyi di gudang yang bersebelahan dengan UKS. Qaren dan dokter Sui masuk UKS. Setelah beberapa saat, tiba-tiba sosok berjubah hitam keluar dari ruangan itu. Rio membelalak.
“Darker!” Batin Rio. Makhluk bertopeng besi itu menghilang. Rio segera menyadari tujuan Darker. Daerah Biun!
Ketika berlari keluar sekolah melalui jalan belakang, Rio menyadari satu hal mengerikan. Bukankah daerah Biun adalah tempat Himitsuri berada? “…Motif dendam mungkin ya.”
“Artinya… Darker adalah klan Devligen!” Batin Rio. Ia teringat Qaren dan dokter Sui yang memasuki UKS dan Darker keluar dari ruangan itu. Berarti… Salah satu dari mereka adalah Darker!
Rio menemukan Darker di salah satu gang buntu daerah Biun. Rio pun bersembunyi di balik tiang listrik. Kedatangannya sedikit terlambat. Darker telah selesai membusukkan seorang pemuda bermata sipit.
“Benar. Darker adalah klan Devligen.” Batin Rio.
 “Setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. Setiap kehidupan pasti ada kematian.” Gumam Darker pada mayat dihadapannya.
Rio membelalakkan matanya. Suara itu, kalimat itu, QAREN!!!
Kaki Rio serasa lumpuh. Ia jatuh ditempat. Tubuhnya mengenai tumpukan sampah sehingga menimbulkan suara yang gaduh. Darker menoleh. Ia menatap Rio dingin tanpa ada rasa terkejut.
“Darker…Qaren… kau… Devligen?!” Kata Rio terbata.
Darker melepas topeng besinya. Memunculkan wajah manis yang tersenyum sinis.
“Hai, Rio.” Ucapnya tenang.
Derap langkah terdengar mendekati gang buntu tempat Rio dan Qaren berada. Langkah yang ternyata milik dokter Sui itu berhenti didepan gang dan menatap Qaren-Rio bergantian. Kemudian ia mendekati Qaren dan bersimpuh dihadapannya.
“Maaf, aku terlambat menghalanginya. Aku melihatnya keluar dari sekolah dan segera menyusul ke sini.” Katanya.
Rio semakin membelalak. “Klan ini memiliki klan pengikut setia, yaitu Demonly.“
“Dokter Sui… kau… Demonly?!”
Sui berdiri dari simpuhnya. Matanya tajam menatap Rio.
“KAU PEMBUNUH AYAHKU?!!!” Teriak Rio entah mendapat keberanian darimana.
“Apa harus aku bekukan?” Tanya Sui pada Qaren.
Qaren menatap Rio. Ia menggeleng sambil tersenyum. “Jangan dulu.” Bisiknya. “Kau mau tahu kebenaran, Rio? Mari ikut dengan kami.” Qaren mendekat pada Rio dan mengulurkan tangannya. Rio tak berani menyentuhnya. Ia takut membusuk. Qaren yang menyadari ketakutan Rio terkekeh mengerikan. “Aku mengerti. Aku tunggu kau di UKS.”
Ω
Rio memasuki UKS yang kini menyeramkan baginya. Sejujurnya ia takut mendatangi tempat penuh resiko ini. Namun, rasa penasarannya melampaui ketakutannya.
GRAB!
Qaren mencengkram lengan Rio ketika ia baru memasuki ruang UKS itu. Sosok Qaren yang sekarang bagai setan bagi Rio.
“Sudah hampir pagi. Aku tak punya waktu banyak untuk menjelaskan semuanya. Jadi, aku hanya akan mengatakan dua hal saja saat ini. ‘DIAM’ dan ‘JANGAN BILANG APAPUN’ jika kau benar-benar ingin mengetahui hal itu.” Qaren membusukkan lengan Rio sedikit.
“ARRRGHH!!! PANAAAS!!!” Teriak Rio kesakitan.
“Aku harap kau menjaga tingkahmu. Saat ini kau cukup mengetahui bahwa kami adalah klan terakhir Devligen dan Demonly. Nah, pergilah.” Qaren membukakan pintu untuk Rio.
Rio keluar ruangan seperti mayat hidup. Otaknya penuh memikirkan kenyataan ini. Jika ia tak datang ke UKS malam itu, mungkin esok harinya Qaren langsung membuatnya menjadi mayat. Seharusnya pun Qaren akan membusukkannya ketika Rio menginjakkan kaki ke UKS ini. Tetapi Qaren bertindak lain. Sui berusaha mencari apa yang dipikiran Qaren, namun tak bisa.
“Mengapa kau biarkan dia hidup?” Tanya Sui.
Qaren hanya tersenyum sinis.


"Bagaimana ceritaku?" aku menatap wajah mereka yang masih fokus. Apa ceritaku menggantung?


"Mmm... aku tidak tahu... bagaimana kita serahkan pada pembaca cerita ini untuk menilainya?" kata kurcaci berbaju merah. Aku tersenyum.


"Setuju," kataku bersamaan dengan mereka.

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2019 Town Square WR 06 | All Right Reserved