Selasa, Agustus 16, 2011

Kajian Kepenulisan : Bab 3 " Bagaimana Saya Menulis Buku?"

Kajian Kepenulisan : Bab 3 " Bagaimana Saya Menulis Buku?"

BAB 3
BAGAIMANA SAYA MENULIS BUKU ?

 (Studi Kasus Penulisan Buku “Menjadi Kaya Dengan Merokok”)
“Inilah langkah-langkah yang biasa saya ayunkan ketika hendak menulis
buku untuk diterbitkan. Dengan langkah-langkah ini, saya berhasil menulis
7 buku di 6 bulan pertama kegiatan menulis buku yang saya lakukan”.
Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa: MENULIS BUKU ITU
GAMPANG! Kenapa saya bisa berkata begitu? Sebab saya sendiri
udah ngebuktiin. Kadang, dalam waktu 2 mingguan saya bisa
menulis sebuah buku dengan ketebalan sekitar 10.000-15.000 kata.
Misalnya aja buku ke-3 saya yang berjudul “Menjadi Kaya
Dengan Merokok”. Untuk menyelesaikan buku ini saya cuma butuh
waktu sekitar 2 minggu. Kemudian, tidak sampai 2 minggu setelah
naskah buku ini saya tawarkan ke penerbit, saya mendapat telpon dari
pihak penerbit. Mereka menyatakan tertarik untuk menerbitkan buku
saya ini.
Sebagai bahan inspirasi buatmu, dengan tidak bermaksud
menggurui, berikut ini beberapa langkah yang biasa saya lakukan
dalam menulis buku. Mudah-mudahan saja langkah demi langkah
yang saya sampaikan bermanfaat buat kamu-kamu semua yang ingin
membagi-bagi ilmu kepada masyarakat lewat buku.

9 Langkah Menulis Buku
Agar lebih mudah dipahami, dalam menjelaskan langkah
demi langkah, saya gunakan contoh kasus penulisan buku ke-3 saya
yang berjudul “Menjadi Kaya Dengan Merokok”. Dengan mengucap
Bismillaahirrohmaanirrohiim” mari kita mulai perjalanan kita.

Langkah Pertama: Menjaring Ide
“Apa sih yang ingin saya tulis?”
“Pembahasan apa yang akan saya angkat menjadi sebuah
tulisan?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang menyembul dari
kepala saya awal kali hendak menulis. Sama saja, baik menulis buku
ataupun menulis artikel.
Untuk mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini,
yang saya lakukan kemudian ialah menjaring ide. Apa itu ide?
Ide adalah sesuatu yang muncul dalam pikiran secara
spontanitas. Ide ini muncul biasanya jika pikiran kita menangkap
sesuatu yang menurut pikiran kita cukup menarik. Ide muncul tidak
kenal tempat dan waktu, artinya kapan saja dan di mana saja, ide bisa
muncul. Demikian tulis Abu Al-Ghifari dalam 88 Soal Jawab
Jurnalistik yang dipublikasikan lewat situs penulissukses.com.
Saya setuju dengan perkataan Abu Al-Ghifari di atas. Ide
memang tidak kenal waktu dan tempat. Artinya, ide bertebaran di
mana-mana. Ya, ide menulis bertebaran di mana-mana.
Apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita baca,
apa yang kita rasakan, apa yang kita alami bisa menjadi sumber ide.
Jadi, untuk mencari ide menulis, nggak perlu jauh-jauh pergi ke laut
atau ke gunung. Nggak perlu juga kita bertapa berhari-hari di dalam
gua yang gelap dan pengap hingga badan kita lumutan. Perhatikan aja
kejadian yang ada di sekitar kita. Niscaya akan kita dapati banyak
ide-ide bagus yang bisa kita olah sedemikian rupa menjadi sebuah
tulisan.
Ketika melihat seorang kawan satu kos yang memiliki
kebiasaan tertawa keras ketika melihat atau mendengar hal-hal yang
lucu, bahkan pernah jam dua belas malam dia tertawa sangat keras
karena menonton film komedi di televisi, padahal di sekitarnya
banyak kawan-kawan lain yang sudah tertidur lelap, maka muncullah
ide untuk membuat tulisan tentang etika tertawa dalam Islam. Artikel
itu kemudian dimuat di sebuah majalah dengan judul “Tertawa Ada
Aturannya”.
Ketika merasakan problema hidup yang membelit bangsa ini
semakin kuat, sementara itu banyak masyarakat yang mulai terlihat
pesimis dalam menjalani hidup, maka muncullah ide untuk membuat
tulisan yang berisi motivasi agar tetap optimis dalam menjalani
hidup, sesulit apapun hidup yang dijalani. Lahirlah kemudian sebuah
artikel dengan judul “Optimis Dengan Ikhtiar dan Tawakal” yang
dimuat di HU. Pikiran Rakyat.
Ketika melihat banyak wanita Muslimah yang tidak menjaga
kehormatannya bahkan cenderung mencabik-cabik kehormatannya
sendiri dengan cara membuang nilai-nilai Islam dari diri mereka,
maka muncullah ide untuk membuat tulisan yang berisi nasihat agar
para wanita kembali kepada Islam. Kemudian, lahirlah sebuah tulisan
dengan judul “Memuliakan Wanita” yang dimuat di kolom Hikmah
HU. Republika.
Ketika terjadi gempa bumi di Yogyakarta dan sekitarnya,
maka muncullah ide untuk membuat tulisan tentang musibah.
Kemudian lahirlah sebuah tulisan dengan judul “Istirja” (kalimat
Inna Lillahi wa Inna Ilaihi roji’un”) yang dimuat di HU. Republika.
Ketika saya melihat banyak orang yang pergi mengaji, namun
ilmu yang didapat di pengajian tidak membekas dalam diri mereka,
maka muncullah ide untuk menulis buku tentang kiat menuntut ilmu
agama yang efektif. Kemudian lahirlah buku yang berjudul “Ngaji
Nguping” yang diterbitkan oleh Batavia Press (Penerbit saya sendiri
yang bukunya hasil fotokopian kemudian dijilid dan saya jual ke
kawan-kawan terdekat)
Ketika saya melihat banyak orang yang punya HP namun
banyak yang menggunakannya untuk hal-hal yang negatif (baca:
maksiat), maka muncullah ide menulis buku tentang penggunaan HP
agar memperoleh manfaat dunia-akhirat. Kemudian lahirlah buku
berjudul “Hati2 Kawan...!!! Jgn Sampe Masuk Neraka Gara2 HP
(Petunjuk Penggunaan HP untuk Meraih Surga dan Terhindar dari
Neraka)”.
Ketika saya melihat banyak orang yang menggunakan waktu
yang mereka miliki untuk hal-hal yang tidak berguna bagi dunia dan
akhirat mereka, bahkan sebagiannya menggunakan waktu mereka
untuk berbuat maksiat, padahal malaikat maut bisa datang kapan saja
untuk menjemput mereka, maka muncullah ide untuk menulis buku
yang berisi nasihat untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam
rangka mengumpulkan bekal untuk kehidupan di akhirat nanti.
Kemudian lahirlah sebuah buku dengan judul “Seandainya Aku Mati
Besok…” yang diterbitkan oleh penerbit di Jakarta.
Intinya, ide bertebaran di mana-mana. Ide menulis bertebaran
di mana-mana. Tangkaplah ide-ide itu. Dalam hal ini, ada baiknya
mengikuti saran Abu Al-Ghifari,” Seorang penulis semestinya selalu
membawa alat tulis sehingga manakala ide muncul ia bisa langsung
menuliskannya.”
Saya sendiri sering membawa buku kecil plus pulpen ketika
sedang bepergian. Ketika saya mendapat ide, saya pun langsung
menuliskannya. Biasanya ide itu saya ikat dalam bentuk judul
sementara. Kadang juga disertai outline sementara yang berisi hal-hal
yang hendak saya bahas nantinya. Dan saat ini saya punya buku saku
yang serisi puluhan judul yang menanti untuk dikembangkan menjadi
sebuah buku.
Saran saya, untuk mendapatkan ide menulis, sering-seringlah
melakukan “pengamatan”. Amati keadaan di sekitar kita. Setelah
dapat ide, segera tangkap. Ikatlah ide itu dengan tulisan agar nantinya
ide itu tidak menguap.
Namun, selain mencari ide sendiri, tidak ada salahnya kita
minta bantuan orang lain, kawan kita misalnya. Seperti yang biasa
saya lakukan juga. Saya sering bertanya kepada kawan-kawan,”Kirakira,
tema apa yang bagus untuk ditulis saat ini?”.
***
Sekarang, saya ingin sedikit bercerita, kenapa bisa muncul ide
untuk menulis buku “Menjadi Kaya Dengan Merokok”.
Suatu hari, setelah saya menyelesaikan buku ke-2 saya,
terpikir oleh saya untuk menulis buku tentang “rokok dan bahayabahayanya”.
Idenya muncul setelah saya memperhatikan banyaknya
jumlah orang yang merokok, padahal rokok jelas-jelas merugikan
kesehatan, sebagaimana peringatan yang tertera di setiap bungkus
rokok: Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung,
impotensi dan gangguan kehamilan dan janin. Ditambah lagi,
jumlah korban keganasan “pembunuh berasap” ini sudah tidak
terhitung banyaknya. Sebagaimana yang pernah dikatakan mendiang
Senator Robert Kennedy bahwa “Setiap tahun rokok membunuh
orang Amerika lebih banyak daripada yang terbunuh dalam Perang
Dunia I, Perang Korea, dan Perang Vietnam digabung menjadi satu.”
Sebenarnya ide menulis buku tentang rokok udah mengendap
cukup lama. Hanya aja baru sekarang terbersit keinginan kuat untuk
segera mewujudkannya menjadi sebuah buku.
Memang, kalau kita perhatikan di toko-toko buku, udah
banyak buku-buku yang membahas tentang bahaya rokok. Ada yang
meninjaunya dari sisi kesehatan, dan ada juga yang meninjaunya dari
dua sisi: kesehatan dan agama.
Kover bukunya pun banyak yang dibuat unik dan menarik.
Bukunya dibuat seukuran bungkus rokok dan desain kovernya dibuat
mirip dengan bungkus beberapa merek rokok. Sungguh kreatif!
Namun timbul pertanyaan dalam diri saya. “Kenapa jumlah
perokok tidak kunjung berkurang, padahal telah banyak buku tentang
bahaya rokok yang beredar di tengah-tengah masyarakat?”
Entahlah. Kalau perkiraan saya sih, meskipun buku tentang
bahaya rokok telah banyak beredar, namun sedikit orang yang
tertarik membacanya. Paling-paling yang mau baca adalah orangorang
yang memang punya keinginan untuk berhenti merokok dan
ingin tahu bagaimana kiat berhenti merokok. Sedangkan merekamereka
yang tidak ingin berhenti dari kebiasaan “main api”nya, tidak
akan mau membaca buku-buku semacam itu.
Saya jadi teringat dengan cerita seorang kawan yang ayahnya
seorang perokok berat. Kawan saya itu ingin agar ayahnya berhenti
merokok. Diapun kemudian membeli buku tentang bahaya rokok dan
meletakkannya di meja kerja ayahnya. Namun, setelah itu, dia tidak
melihat buku itu lagi di sana. Ayahnya pun masih tetap dengan
kebiasaannya. Perkiraan kawan saya, buku itu dibuang oleh ayahnya.
Nah, dari sini saya berfikir. Bagaimana caranya membuat
buku tentang bahaya rokok, tapi buku itu “mau dibaca” oleh semua
orang, baik yang merokok maupun yang tidak, terutama yang
merokok tentunya. Harapan saya selanjutnya, setelah membaca buku
itu, mereka mau berhenti merokok.
Inilah sedikit cerita tentang proses munculnya ide menulis
buku tentang “bahaya rokok”. Setelah ide saya dapat, langkah saya
selanjutnya adalah...
Sebagaimana telah saya singgung di atas, setelah
mendapatkan ide, biasanya saya langsung mengikatnya dalam bentuk
judul sementara. Saya berusaha mencari judul-judul yang menarik
untuk saya sematkan di kover buku saya nanti. Saya ingin, lewat
judul yang saya berikan, orang tertarik pada pandangan pertama.
Belajar dari kebiasaan saya ketika berkunjung ke toko buku,
yang pertama kali saya lihat dari jejeran buku yang dipajang di rak
buku adalah judul bukunya. Kalau ada yang menurut saya menarik,
langsung saya ambil dan lihat-lihat isi dalamnya.
Oleh karena itu, saya berusaha membuat judul semenarik
mungkin. Saya berusaha untuk membuat judul yang menggigit,
membuat penasaran dan bisa memancing orang untuk bertanya “Apa
sih isinya?”
Tapi kalau dipikir-pikir, nggak gampang memang membuat
judul yang menarik. Bisa jadi menurut kita sudah menarik, tapi
menurut orang lain belum tentu. Seperti yang terjadi dengan beberapa
artikel saya yang dimuat di majalah dan koran. Pernah saya menulis
artikel dengan judul “Fikih Tertawa”, namun oleh redaksi diganti
menjadi “Tertawa Ada Aturannya”. Pernah juga saya menulis artikel
dengan judul “Jilbab Syar’i”, namun oleh redaksi judulnya diganti
menjadi “Menjaga Kesucian”.
Begitupun dengan nasib dua buku saya. Buku saya yang
berjudul “Menjadi Kaya Dengan Merokok” oleh penerbit diganti
menjadi “Ngerokok Bikin Kamu ‘Kaya’”, sedangkan buku saya yang
berjudul “Seandainya Aku Mati Besok…” oleh penerbit diganti
menjadi “Paspor Kematian: Jalan Menuju Surga-Mu”.
Memang, kata Mas Edy Zaqeus, judul bukan faktor yang
paling menentukan, tetapi tetap saja judul yang pas akan menjadi
iklan utama bagi sebuah buku. Buku, sama halnya dengan produk
lainnya, sekalipun bagus isi/kualitasnya bisa saja tidak dilirik
konsumen, karena iklan atau judulnya tidak memberikan
impresi/kesan yang bagus.
Saya jadi teringat dengan cerita Napoleon Hill dalam bukunya
yang berjudul Think & Grow Rich. Kata dia, seorang penerbit buku
murah membuat penemuan yang sangat berharga bagi para penerbit
pada umumnya. Dia mengetahui bahwa banyak orang membeli judul,
dan bukannya isi buku. Hanya dengan mengubah judul sebuah buku
yang tidak laku, penjualan untuk buku itu melonjak naik lebih dari
satu juta kopi. Isi buku itu sama sekali tidak berubah. Dia hanya
merobek sampul buku yang berisi judul yang tidak laku dan
memasang sampul baru dengan judul yang punya nilai “box office”.
Mengingat arti pentingnya sebuah judul, ada baiknya kita
sering berlatih membuat judul-judul yang menarik. Kita juga bisa
belajar dari judul buku-buku best seller yang ada di pasaran.
Saran saya juga, dalam membuat judul sementara, kalau bisa
kita buat sebanyak-banyaknya. Setelah itu kita minta penilaian orang
lain terhadap judul yang telah kita buat. Atau, bisa juga kita minta
bantuan orang lain untuk memberi judul yang menurut mereka pas
dengan tulisan kita.
Untuk “buku rokok”, waktu itu langsung saya beri judul
“Menjadi Kaya Dengan Merokok” Sepertinya saya sudah cocok
dengan judul ini. Apalagi setelah judul ini saya ajukan ke kawankawan,
banyak yang merasa penasaran. “Masak sih merokok bisa
bikin kaya ?”, demikian komentar mereka. Nah, komentar seperti
inilah yang saya inginkan. Berarti hal ini menunjukkan bahwa judul
yang saya berikan sudah sip.
Sebelumnya, sempat juga terbersit keinginan untuk memberi
judul “Misteri Pembunuh Berasap”. Judul ini terinspirasi oleh artikel
tentang rokok yang pernah saya tulis dan dimuat di sebuah majalah.
Judulnya “Pembunuh Berasap”. Agar kedengarannya lebih menarik,
apalagi sekarang lagi musim judul-judul buku berawalan “Misteri”,
maka saya tambahkan kata-kata “Misteri” di depannya. Sehingga
judulnya menjadi “Misteri Pembunuh Berasap”.
Namun, setelah saya mendapatkan judul yang menurut saya
lebih menarik, saya pun jadi pindah ke lain hati. Hingga akhirnya
saya putuskan untuk tetap memberi judul buku saya ini dengan
“Menjadi Kaya Dengan Merokok”. Walaupun sebelumnya sempat
juga terbersit judul-judul lain seperti “Dapat Apa Dengan Rokok”
dan “Bila Remaja Tidak Merokok”.
Tapi perlu diingat juga. Dalam membuat judul jangan sampai
kebangetan. Jangan hanya karena ingin membuat judul yang menarik
perhatian, lantas kita membuat judul yang menipu, misalnya judul
yang diberikan berbeda dengan isinya. Judulnya kemana, isinya
kemana.
Setelah judul berhasil dibuat, langkah saya selanjutnya adalah

Langkah ketiga: Membuat Outline (Kerangka Karangan)
Sementara
Kalau kamu pingin tau contoh outline, lihat aja daftar isi
sebuah buku. Nah, seperti itulah bentuk outline. Outline berisikan
tentang apa aja yang akan dibahas dalam sebuah buku.
Membuat outline nggak sulit, lho. Kita tinggal menuliskan
apa aja kira-kira yang akan kita bahas dalam buku yang akan kita
tulis.
Untuk awal-awal, nggak perlu kita pikirin letak urutanurutannya,
acak nggak masalah. Nanti bisa diperbaiki sambil jalan,
atau saat langkah selanjutnya (ketika proses editing). Yang penting,
tulis sebanyak-banyaknya segala sesuatu yang ingin kita omongin
dalam buku yang akan kita tulis.
Untuk buku “Menjadi Kaya Dengan Merokok” awalnya saya
buat outline seperti ini:
Judul: Menjadi Kaya Dengan Merokok

 Berbicara tentang rokok

 Ada apa dengan rokok

 Kaya dengan merokok

 Rokok dalam kaca mata Islam

 Renungan

 Kaya dengan meninggalkan rokok

 Pilih mana

 Empati

 Membasmi pembunuh berasap

 Saya ingin berhenti, tetapi…
Inilah outline sementara yang saya buat. Namun kemudian,
sambil terus melangkah, outline pun berubah. Ada yang saya ganti,
ada yang saya tambah, ada yang saya pindahkan posisinya
dst…dst… Ketika buku selesai ditulis dan siap kirim ke penerbit,
outlinenya menjadi seperti ini:
_ Salam Pembuka
_ Mengenal Rokok Lebih Dekat
_ Pembunuh Berdarah Dingin
_ Kaya Dengan Me-Rokok
_ Rokok Dalam Pandangan Islam
_ Ya, Saya Tahu, Tapi…
_ Kisah “Sukses “ Seorang Perokok
_ Bersiaplah !
_ Awas, “Pembunuh Berasap” Masuk Rumah !!!
_ Saatnya Berhenti Merokok
_ Selingan: Tertembak Gara-Gara Menghisap Rokok
_ Suara Hati Seorang Wanita
_ Untung Atau Buntung
_ Surat Terbuka Untuk Para Penjual Rokok
_ Tuhan Sembilan Senti
_ Ke Mana Engkau Berlayar
_ Daftar Pustaka
***
Bagi saya, setidaknya ada tiga manfaat membuat outline
sebelum mulai menulis. Pertama, untuk mengarahkan tulisan agar
nggak melebar ke mana-mana. Jangan sampai nantinya saya
membahas sesuatu yang nggak terlalu perlu dalam buku yang sedang
saya tulis. Misalnya, saya sedang menulis buku tentang “bahaya
rokok bagi kesehatan”. Maka nggak perlu saya membahas tentang
budidaya tembakau, atau proses pembuatan rokok dari awal hingga
akhir.
Kedua, untuk memudahkan saya dalam mencari referensi.
Dengan adanya outline, saya tinggal mencari bahan bacaan yang ada
kaitannya dengan hal-hal yang ingin saya bahas sebagaimana yang
tertera pada outline yang telah saya susun. Dengan begitu proses
pencarian menjadi lebih mudah, karena sudah jelas apa-apa saja yang
mau dicari.
Ketiga, untuk menambah kepekaan saya ketika membaca,
baik membaca tulisan (buku, majalah, artikel, dll) maupun membaca
kejadian yang ada di sekitar saya. Berdasarkan pengalaman, apabila
saya telah membuat outline, ketika saya sedang “membaca”, saya
menjadi lebih peka. Jika ada sesuatu yang kira-kira berkaitan dengan
salah satu pembahasan yang ada dalam outline yang saya buat, secara
refleks saya akan merasakannya. Saya akan langsung teringat dengan
pembahasan itu. Sehingga saya bisa mengambilnya/mengutipnya
untuk dimasukkan pada tulisan saya.
Misalnya aja, ketika saya sedang membaca sebuah artikel
yang membahas tentang rokok, saya mendapati kata-kata begini:”
Hakikat rokok tak ubahnya seperti makanan penduduk Neraka,
sebagaimana yang diceritakan Allah: “Yang tidak menggemukan
dan tidak pula menghilangkan lapar.” (QS. Al-Ghasiyah: 7)
Membaca kata-kata ini, saya jadi teringat dengan salah satu
pembahasan (bab) dalam outline “Ada Apa Dengan Rokok?”.
Sepertinya bagus untuk ditambahkan di sana, pikir saya waktu itu.
Saya pun kemudian meletakkan kata-kata ini di bagian pembuka.
Barangkali dalam hal ini, outline ibarat daftar belanjaan yang
dibuat sebelum kita pergi ke pasar. Dengan adanya daftar belanjaan,
kita akan terhindar dari membeli barang yang tidak perlu, atau tidak
terlalu perlu. Dengan adanya daftar belanjaan, kita tinggal menuju
toko yang menjual barang yang ada dalam daftar belanjaan. Jadi, kita
nggak perlu menjelajahi seluruh isi pasar. Sebab, bisa kelamaan
nantinya.
Dengan adanya daftar belanjaan, kita bisa menjadi lebih
respek. Begitu melihat ada barang yang kita butuhkan terdapat di
sebuah toko, walaupun toko itu berada di luar pasar atau bukan toko
yang kita tuju, kita bisa langsung ingat bahwa barang itu kita
butuhkan karena tertera dalam daftar belanjaan. Kita pun kemudian
bisa langsung membelinya.
Untuk belajar tentang cara membuat outline, bisa dengan
mengamati daftar isi buku-buku yang ada di pasaran. Sekarang,
setelah outline selesai dibuat, saya pun beralih ke langkah
selanjutnya.

Langkah Keempat: Mencari Referensi
Referensi bisa berupa buku, majalah, artikel ataupun bahan
bacaan lainnya. Untuk mencari referensi kita bisa pergi ke
perpustakaan, ke toko buku, atau bisa juga ke warnet (warung
internet).
Alhamdulillah, dalam menulis “buku rokok” ini saya nggak
terlalu mengalami banyak kesulitan dalam mencari dan
mengumpulkan referensi. Sebab, sebelumnya saya sudah pernah
menulis artikel tentang rokok. Referensi “bekas” menulis artikel itu
masih saya simpan sampai sekarang. Jadi saya nggak perlu capekcapek
lagi mencari dan mengumpulkan referensi ke sana kemari.
Tinggal buka-buka referensi yang udah ada aja.
Waktu itu saya udah punya buku yang ngebahas tentang
kandungan rokok dan bahayanya. Saya juga punya buku tentang
hukum rokok dalam Islam. Saya pun punya artikel tentang rokok
yang pernah dimuat di majalah. Saya juga punya puisi tentang rokok
karya Taufik Ismail dengan judul “Tuhan Sembilan Senti”. Hanya
saja saya belum punya kisah orang-orang yang sudah “bertobat” dari
merokok. Rencananya saya akan memasukkan kisah-kisah mereka
dalam buku ini untuk diambil sebagai pelajaran bagi mereka yang
masih merokok.
Cara yang paling gampang dan murah dalam mencari
referensi menurut saya ialah dengan mencarinya di internet. Dengan
bantuan mesin pencari google misalnya, kita bisa mendapatkan
banyak bahan bacaan yang kita butuhkan. Dan biayanya bisa lebih
murah dibandingkan kita harus membeli banyak buku yang harganya
bisa mencapai puluhan ribu bahkan ratusan ribu. Pengalaman saya,
dengan mengeluarkan uang 5000 (sewa internet selama 2 jam di
Bogor) saya bisa mendapatkan banyak data yang saya butuhkan.
Setelah semua referensi yang saya butuhkan terkumpul, saya
pun siap untuk melakukan langkah selanjutnya.

Langkah Kelima: Menentukan Penerbit yang Akan Dituju
Sebelum mulai menulis, biasanya saya akan menentukan dulu
ke penerbit mana naskah saya bakalan saya kirim nantinya. Tentu
saja yang saya tuju adalah penerbit buku yang jelas-jelas menerima
tulisan dengan bidang yang sama dengan tulisan yang akan saya buat.
Sebab tidak mungkin saya mengirim buku tentang keagamaan ke
penerbit yang hanya menerbitkan buku-buku pertanian. Begitupun
sebaliknya.
Setelah saya dapat penerbit yang cocok, maka saya pelajari
gaya tulis buku-buku terbitan dari penerbit sasaran. Hal ini penting
agar peluang naskah diterbitkan besar. Sebab, kadang ada penerbit
yang hanya menerbitkan buku dengan gaya bahasa khusus yang
sesuai dengan keinginan mereka. Maka, jika ada naskah yang gaya
bahasanya tidak cocok dengan gaya bahasa penerbit itu,
kemungkinan besar akan ditolak.
Saya pernah punya pengalaman mengirim naskah ke penerbit
yang biasa menerbitkan buku dengan gaya bahasa yang berbeda dari
penerbit pada umumnya. Dari awal saya memang sudah nggak terlalu
yakin naskah saya bakalan lolos, karena gaya bahasa yang saya
gunakan biasa-biasa aja. Waktu itu saya cuma pingin coba-coba.
Kalau diterbitin ya syukur, tapi kalau ditolak ya nggak apa-apa
(namanya juga usaha, ya toh?!). Dan ternyata benar. Setelah
beberapa bulan berlalu, saya pun mendapat kabar penolakan.
Bagi kita yang ingin mengirimkan naskah ke penerbit,
langkah kelima ini penting untuk dilakukan. Tujuannya ialah agar
peluang diterimanya naskah kita menjadi lebih besar. Namun, jika
kita hendak menerbitkannya sendiri, atau kita menulis buku cuma
untuk konsumsi pribadi bukan untuk dipublikasikan, langkah kelima
ini bisa aja diabaikan. Kita bisa langsung menuju langkah keenam.
Jadi, sebelum mulai menulis, ada baiknya kita sedikit
membaca beberapa buku terbitan dari penerbit yang akan kita tuju.
Kalau bisa sih cari penerbit yang gaya bahasanya umum, artinya
penerbit lain banyak yang menggunakan gaya bahasa seperti itu.
Agar nantinya, jika naskah kita ditolak oleh penerbit yang satu, bisa
langsung kita kirim ke penerbit yang lain tanpa perlu capek-capek
mengubah gaya bahasanya.
ntuk buku rokok, sebelumnya saya SMS terlebih dahulu
penerbit yang hendak saya kirimi naskah. Lewat SMS saya
menanyakan apakah penerbit menerima naskah dari penulis luar?
Seingat saya waktu itu, saya mengirim SMS-nya pada siang hari
ketika saya sedang berada di toko buku di Blok-M. Isi SMS-nya kirakira
begini:
Assalamu’alaikum. Apakah Penerbit Samudera
menerima naskah dari penulis luar?
Malam hari SMS saya baru di balas. Isinya (kalau tidak salah
ingat):
ya, send email aja
Nah, setelah menentukan penerbit yang akan dituju, langkah
saya selanjutnya ialah …

Langkah Keenam: Menuliskan
Untuk langkah keenam ini, saya biasanya langsung
melakukannya di depan komputer, agar tidak kerja dua kali. Namun,
jika sedang tidak ada komputer atau merasa lelah menulis di depan
komputer, saya menulis di kertas terlebih dahulu. Baru setelah itu
saya salin ke komputer.
Langkah keenam bagi saya merupakan langkah yang paling
melelahkan dibanding langkah-langkah lainnya. Sebuah langkah
yang kadang bisa membuat tangan keriting, karena kelamaan
digunakan untuk mengetik (Ya, maklumlah. Saya belum punya
sekretaris pribadi). Dan langkah ini pun membutuhkan waktu
terlama.
Tetapi hal ini bisa diatasi dengan cara mencicil. Misalnya
sekarang ngetik satu atau dua bab terlebih dahulu. Kemudian
besoknya demikian juga, dan begitu seterusnya hingga semua bab
berhasil ditulis/diketik. Dengan cara seperti ini, kegiatan menulis bisa
lebih ringan ketimbang harus menuliskan banyak bab dalam satu
waktu, walaupun tetap beresiko membuat tangan keriting. Apalagi
jika ide di kepala sudah tidak terbendung lagi, sehingga harus
ditumpahkan saat itu juga.
Kemudian, ada tips lain agar langkah keenam ini menjadi
mudah diayunkan. Yaitu, MULAILAH DARI BAB YANG
DIANGGAP PALING MUDAH.
Kita tentu masih ingat ketika menjalani ujian di sekolah dulu.
Saat kita menghadapi soal ujian yang jumlahnya puluhan, apa yang
biasanya disarankan oleh guru? Ya, benar! MULAILAH DARI
SOAL YANG DIANGGAP PALING MUDAH! Nah, inilah cara
yang paling efektif untuk bisa menyelesaikan langkah kelima ini
dengan mudah. TULISLAH DARI YANG PALING MUDAH.
Ketika menulis buku rokok ini, pembahasan yang menurut
saya paling mudah ialah “Bab I: Mengenal Rokok Lebih Dekat”.
Sebab saya tinggal mengutip dari buku referensi yang ada. Tinggal
nyomot, kalau kata orang Betawi. Setelah itu saya lanjutkan ke BAB
II, karena sama dengan BAB I, tinggal nyalin aja. Kemudian saya
lanjutkan ke bab lainnya yang paling mudah, hingga akhirnya bab
demi bab bisa saya rampungkan semua.
Jadi, ketika sedang proses menuliskan, bisa jadi kita
memulainya tidak dari awal. Bisa dari akhir atau dari tengah. Bisa
jadi pertama kali kita menuliskan Bab I karena itulah yang paling
mudah dituliskan. Kemudian kita langsung menggarap bab akhir
karena di antara bab yang lain, bab terakhirlah yang paling mudah
untuk diselesaikan tanpa harus bersusah payah berfikir untuk
menyusun kata-kata sendiri. Kemudian bisa saja kita melompat ke
bab II, kemudian bab V, dan begitu seterusnya, sampai seluruh bab
selesai ditulis. Pokoknya mirip dengan mengerjakakan soal ujian di
sekolah dulu. Dengan cara seperti inilah, saya selesaikan langkah
ke-6 ini.
Setelah semua bab dalam outline berhasil ditulis, bukan
berarti pekerjaan udah beres. Sebab, masih banyak hal-hal yang harus
diperbaiki. Misalnya tanda baca yang kurang tepat, huruf yang
kurang, kalimat yang nggak nyambung, dst…dst… Untuk itu butuh
langkah selanjutnya, yaitu mengedit.
Tapi, karena langkah keenam ini menguras cukup banyak
tenaga, sebelum mengedit biasanya saya refreshing dulu. Saya
tinggalkan sejenak hal-hal yang berbau tema buku yang sedang saya
tulis. Dalam hal ini, saya lupakan sejenak masalah “rokok”. Kalau
saya ingin baca buku, saya pilih tema yang berbeda dengan tema
buku yang sedang saya garap. Namun ajaibnya, ketika saya sedang
membaca, sering saya menemukan sesuatu yang bisa saya
tambahkan untuk buku yang sedang saya tulis. Padahal buku yang
sedang saya baca tidak ada kaitannya sama sekali dengan tema buku
garapan saya. Inilah manfaat ke-3 dari membuat outline sebagaimana
yang telah saya jelaskan di awal.
Kadang, dalam masa refreshing ini, saya juga sempatkan
untuk berkunjung ke toko buku. Selain untuk menghilangkan
kejenuhan, karena selama ini nongkrong terus di depan komputer,
saya juga gunakan kunjungan ke toko buku untuk mencari ide-ide
baru. Atau sekalian saya melakukan pengamatan terhadap buku-buku
yang setema dengan buku yang sedang saya tulis dan sudah lebih
dahulu terbit. Sebab saya inginnya, sebisa mungkin buku yang
sedang saya tulis berbeda dengan buku-buku setema yang sudah lebih
dahulu berada di pasaran.
Waktu itu, setelah selesai menuliskan semua bab dalam buku
rokok, saya berkunjung ke sebuah toko buku besar di daerah Blok-M
untuk penyegaran. Di sana saya dapati cukup banyak buku-buku
tentang rokok. Hampir semuanya sudah pernah saya lihat
sebelumnya. Hanya ada satu yang sepertinya baru saya lihat. Ada
sebuah buku ukuran sedang yang membahas tentang bahaya rokok
bagi kesehatan. Hanya saja penulisnya memberi solusi lain, selain
meninggalkan rokok. Menurutnya, jika meninggalkan rokok memang
sulit dilakukan, maka dia menyarankan bagi para perokok untuk
mengkonsumsi makanan tertentu sebagai peredam efek negatif dari
racun rokok. Jadi, si perokok tetap bisa meneruskan kebiasaan
merokoknya tanpa harus takut terkena penyakit mematikan akibat
asap rokok.
Membaca uraian dalam buku ini, saya jadi teringat dengan
salah satu bab yang terdapat dalam buku rokok yang sedang saya
tulis. Judul babnya: “Ya, saya tahu, tapi…”. Di bab itu saya coba
menanggapi argumentasi beberapa orang yang ingin berhenti
merokok, tapi masih belum bisa karena beberapa alasan. Waktu itu
baru dapat tujuh alasan. Setelah baca buku ini, saya jadi
kepikiran untuk menambahkan satu alasan lagi ke dalam buku saya.
Kemudian saya menulis begini:

ALASAN KEDELAPAN
Saya tahu merokok bisa menimbulkan penyakit. Tapi khan penyakit
itu bisa dicegah dengan mengkonsumsi makanan tertentu dan minum
obat tertentu.
Tanggapan:
1. Benarkah puluhan penyakit berbahaya itu bisa dicegah
semuanya? Coba Anda tanyakan lagi deh sama dokter Anda
di rumah!
2. Jika memang demikian, bisakah Anda mencegah dosa yang
ditimbulkan dari merokok?
3. Bagaimana kalau makanan yang Anda butuhkan tidak tersedia
di pasar? Atau, bagaimana juga jika obat yang Anda butuhkan
stok-nya habis di apotik?
4. Bukannya hal ini justru malah memberatkan dan merugikan
Anda? Pertama, Anda harus keluar uang untuk membeli
barang yang tidak bermanfaat. Kedua, Anda harus keluar
uang untuk membeli makanan dan obat yang Anda butuhkan.
5. Iya kalau obatnya manjur. Bagaimana kalau ternyata obatnya
tidak manjur, Anda mau berbuat apa?
6. Udah deh, tinggalin saja rokok! Insya Allah Anda akan sehat
dan bebas dari incaran penyakit. Anda pun bisa makan
makanan apa saja sesuai selera. Tidak perlu susah-susah cari
makanan dan obat tertentu yang terkadang sulit untuk
mendapatkannya.. Gitu aja kok repot!
***
Setelah merasa cukup fresh, biasanya sehari juga sudah cukup
untuk penyegaran, saya mulai lagi melangkah. Yang saya lakukan selanjutnya adalah...

Langkah Ketujuh: Mengedit
Berkebalikan dengan langkah sebelumnya, langkah ketujuh
ini merupakan langkah yang mengasyikkan. Saya bisa lebih santai
melakukannya.
Kebiasaan saya, begitu seluruh bab berhasil saya tulis,
kemudian bab-bab yang masih berserakan itu saya susun sesuai
urutan-urutan yang saya inginkan. Setelah itu saya print di kertas
HVS ukuran A-4 (saya buat bolak-balik, biar ngirit), lalu saya mulai
membaca ulang seluruh bab, dari awal hingga akhir.
Jika ada tanda baca yang saya rasa nggak tepat, saya perbaiki.
Jika ada kalimat yang janggal, saya benahi. Jika ada yang perlu
ditambahi, saya tambahi. Jika ada yang perlu dihapus karena tidak
nyambung atau kalimatnya tidak efektif, saya coret aja atau saya
ubah.
Dalam proses editing ini, saya bisa melakukannya berkali-kali
sampai saya merasa puas. Saya pun melakukannya di mana saja. Bisa
di kamar, di ruang tamu, di masjid dan di mana-mana asal nyaman
untuk menulis dan membaca.
Kalau saya merasa ada bab yang perlu ditambahkan, ya saya
tambahkan aja. Atau jika ada bab yang menurut saya perlu
dipindahkan urutannya, ya saya pindahkan aja.
Setelah saya merasa sudah tidak ada lagi yang perlu diubah,
hasil koreksian (coret-coretan saya di kertas) saya masukin ke dalam
naskah yang ada dalam komputer. Setelah dibaca-baca lagi, dan
merasa sudah tidak ada lagi perubahan, maka biasanya naskah saya
print kembali untuk kemudian saya “coret-coret” lagi. Sebab
terkadang, berbeda antara membaca naskah di layar monitor dengan
di atas kertas. Ketika membaca langsung di layar monitor, sepertinya
sudah nggak ada kesalahan lagi. Tapi, begitu di baca di atas kertas,
ternyata masih ada cukup banyak kesalahan. Apakah hal ini
disebabkan oleh pengaruh radiasi yang dipancarakan oleh layar
monitor sehingga membuat mata lelah dan menjadi kurang teliti?
Entahlah.
Jadi, dalam proses editing ini, biasanya naskah saya print dua
kali. Hal ini saya lakukan agar tulisan yang saya buat benar-benar
bebas dari kesalahan. Setelah merasa sudah tidak ada lagi yang harus
diperbaiki, maka langkah saya selanjutnya ialah ….

Langkah Kedelapan: Minta Penilaian Orang Lain
Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Ibu
kita. Apa yang menurut kita bagus, belum tentu bagus menurut Ayah
kita. Apa yang menurut kita indah, belum tentu indah menurut
saudara-saudara kita. Apa yang menurut kita luar biasa, belum tentu
luar binasa – eh salah- luar biasa menurut kawan kita. Intinya,
penilaian orang beda-beda, gitu lho maksudnya!
Sewaktu SMU saya punya kawan, namanya Adi. Lengkapnya
Adi Nugraha. Dia terkenal jago gambar. Banyak kawan yang memuji
kepiawaiannya menggambar.
Pada suatu hari, guru kesenian kami, Pak Budi namanya,
menugaskan kami menggambar. Bebas, menggambar apa saja, asal
bukan gambar porno (Ups! Maaf becanda). Adi pun langsung beraksi
menunjukkan kepiawaiannya.
Di hari pengumpulan tugas, si Adi memperlihatkan gambar
yang dia buat. Ternyata memang gambarnya bagus. Kawan-kawan
banyak yang kagum dan memuji gambarnya. Perkiraan kawankawan,
gambar si Adi akan diberi nilai tinggi oleh Pak Budi. Ya,
minimal 7 ke atas lah.
Tapi yang terjadi justru di luar dugaan. Jangankan nilai 7, si
Adi ternyata cuma dikasih nilai 6! Sungguh di luar dugaan.
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah si Adi adalah: Kita
jangan “terlalu pede” dengan tulisan yang kita buat. Bisa jadi kita
merasa bangga dengan goresan pena kita bahkan berprediksi bahwa
buku kita akan diterima penerbit dengan mudah dan menembus
predikat bestseller. Tapi ternyata, orang lain justru memberi penilaian
yang biasa-biasa aja.
Saya dulu sempat pede dan sangat yakin dengan buku ke-2
yang saya tulis. Sebab kawan-kawan yang telah membacanya banyak
yang memberikan respon positif. Mereka banyak yang suka.
Terutama dengan gaya bahasanya. Sehingga saya yakin buku itu akan
diterima oleh penerbit yang saya tawarkan. Tapi ternyata, setelah
eberapa bulan menunggu, saya mendapat kabar penolakan dari
pihak penerbit. Jadi terbuktilah apa yang saya katakan di awal
pembicaraan. Penilaian orang beda-beda. Bagus menurut kawankawan
saya, belum tentu bagus menurut penerbit.
Tapi kita nggak usah khawatir. Bagus menurut penerbit yang
satu, belum tentu bagus menurut penerbit yang lain. Dan jelek
menurut penerbit yang satu, belum tentu jelek juga menurut penerbit
yang lain.
Contohnya buku ke-6 saya. Setelah ditolak oleh penerbit
(setelah sebelumnya mereka menyatakan tertarik untuk menerbitkan,
namun beberapa bulan kemudian dibatalkan), saya langsung
mengirimkannya ke penerbit lain. Ternyata, tidak sampai seminggu
saya langsung ditelpon oleh pihak penerbit. Mereka menyatakan
tertarik untuk menerbitkan buku saya itu, sebab mereka menilai buku
saya itu inspiratif. Nah, benar kan kata saya. Jelek menurut penerbit
yang satu, belum tentu jelek menurut penerbit yang lain.
***
Langkah ketujuh ini sangat bermanfaat jika niat kita menulis
buku ialah untuk diterbitkan. Agar nantinya buku yang kita tulis
kemungkinan besar bisa diterima pasar alias best seller. Jika dari
awal kita sudah tahu bahwa respon orang lain terhadap buku kita
bagus, hal ini termasuk indikasi bahwa buku kita memang layak jual.
Oleh karena itu, setelah proses editing, kalau bisa mintalah
penilaian orang lain sebanyak-banyaknya. Semakin banyak semakin
bagus. Minta mereka mengkritisi tulisan kita, entah gaya bahasanya,
judulnya, temanya, susunan babnya, dst…dst… Pokoknya minta
mereka mengkritisi semuanya. Lebih bagus lagi jika orang yang kita
minta penilaian ialah orang yang betul-betul paham dengan buku
yang kita tulis. Misalnya kita menulis buku tentang pertanian,
minimal yang kita minta untuk mengkritisi ialah mahasiswa
pertanian, bukan mahasiswa kedokteran.
Namun, walaupun yang memberi masukan/koreksi adalah
orang biasa-biasa aja, nggak ada salahnya kita pertimbangkan
masukannya itu. Bisa jadi masukannya bermanfaat untuk perbaikan
naskah buku kita.
Saya jadi teringat dengan seorang kawan. Suatu hari dia
pernah ditugasi me-layout buku seorang ”guru besar”. Sambil
melaksanakan tugasnya, dia juga melakukan koreksi terhadap naskah
sang guru besar. Koreksiannya itu paling-paling cuma berkisar
masalah penyusunan kalimatnya saja. Mengetahui hal itu, guru besar
itupun murka kepada kawan saya yang pendidikannya cuma sampai
S1.
Guru besar itu berkata kepada kawan saya bahwa bukunya itu
sudah dikoreksi oleh si A, si B, si C…seraya dia menyebutkan namanama
guru besar lainnya yang telah mengoreksi bukunya, sehingga
menurutnya tidak akan mungkin lagi ada kesalahan. Guru besar itu
pun meminta kawan saya untuk menghapus coretan-coretan yang
dibuatnya.
Namun, apa yang terjadi kemudian. Setelah buku cetakan
pertamanya keluar, ternyata terdapat cukup banyak kekeliruan, baik
bahasa maupun isinya. Kemudian, di bagian kata pengantar edisi
revisi, guru besar itu menyatakan permohonan maaf kepada para
pembaca dan mengakui kekhilafannya seraya mengutip sebuah hadits
Rasulullah yang menyatakan bahwa setiap anak Adam berbuat salah;
sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang mau bertaubat.
Untuk mengetahui penilaian orang lain, ada beberapa cara
yang biasa saya lakukan. Misalnya naskah buku terlebih dahulu saya
print, kemudian saya minta kawan-kawan saya untuk membacanya
dan memberikan penilaian.
Tapi yang paling bagus, menurut saya, kalau kita banyak
uang, nggak ada salahnya kita foto kopi dan jilid naskah kita yang
sudah dibentuk layaknya sebuah buku, minimal 5 buku, kemudian
kita minta kawan-kawan yang kritis untuk memberikan penilaian.
Lebih bagus lagi kita buat form penilaian khusus, sekaligus kita
minta kritik dan sarannya.

Langkah Kesembilan: Edit Akhir
Yang saya lakukan di langkah terakhir ialah memperbaiki
kembali isi naskah. Jika ada yang perlu saya tambahkan, saya
tambahkan. Jika ada yang perlu dihapus, saya hapus. Jika judulnya
saya rasa kurang tepat dan ada judul lain yang menurut saya lebih
bagus, maka judul yang lama saya ganti. Jika ada bab yang kurang
lengkap, saya lengkapi. Dan begitu seterusnya hingga naskah buku
benar-benar fix dan siap ditawarkan ke penerbit.
Edit akhir ini biasanya saya lakukan langsung di depan
komputer. Saya baca kembali dari awal hingga akhir. Setelah benarbenar
yakin tidak ada lagi kesalahan dan tidak ada lagi perubahanperubahan,
maka naskah saya print. Maka jadilah sebuah buku yang
siap untuk ditawarkan ke penerbit.
***
Inilah langkah-langkah yang biasa saya ayunkan ketika
hendak menulis buku untuk diterbitkan. Dengan langkah-langkah ini,
dan tentunya dengan sedikit berimprovisasi, saya berhasil menulis 7
buku di 6 bulan pertama kegiatan menulis buku yang saya lakukan.
Sebenarnya, kalau saya mau, saya bisa menulis lebih banyak lagi.
Sebab rata-rata dalam waktu tidak sampai 3 minggu saya bisa
menulis satu buku. Hanya saja saya sering kekurangan “bensin”,
sehingga gerak pena jadi agak sedikit terhambat.
Untuk bisa menulis buku, kamu nggak mesti harus melakukan
semua langkah ini. Kamu bisa memodifikasinya. Saya sendiri kadang
lompat-lompat. Kadang ada beberapa langkah yang tidak saya
lakukan. Hanya saja, seringnya saya melangkah seperti ini. Walaupun
kadang urutannya tidak mesti seperti ini.
Misalnya saja buku rokok ini. Setelah proses editing, saya
tidak minta penilaian orang lain. Berarti saya tidak melakukan
langkah ke-8. Saya langsung melompat ke langkah ke-9. Sebab, terus
terang saja, waktu itu saya mengerjakannya agak tergesa-gesa.
Pokoknya pingin cepat selesai, biar bisa langsung dikirim ke
penerbit, dan harapan saya biar bisa cepat diterbitkan, sehingga
dengan begitu saya juga akan cepat dapat uang royalti. Maklumlah,
ketika itu saya sedang terkena penyakit ”kanker” alias kantong
kering. Jadi, ya....harap dimaklumi.
Setelah naskah saya edit beberapa kali, kemudian naskah itu
saya bentuk menjadi buku dengan format (page setup): A4, 2-2-2-2,
landscape, 2 pages persheet. Lalu saya beri cover sederhana, saya lay
out, kemudian saya print. Setelah itu saya fotocopy plus jilid
sebanyak dua buah. Yang satu saya kirim ke penerbit dan yang
satunya lagi saya pegang buat arsip.
Setelah membaca naskah saya ini, banyak dari kawan-kawan
yang memberi respon positif. Oleh karena itu, saya kepikiran untuk
menjualnya dalam bentuk fotokopian sambil menanti kepastian terbit
tidaknya naskah ini oleh penerbit yang saya tawarkan. Waktu itu saya
coba fotocopy sebanyak 5 buah. Dan ternyata semuanya habis terjual.
Demikianlah kisah sederhana tentang proses penulisan buku
saya yang berjudul “Menjadi Kaya Dengan Merokok”. Semoga
bermanfaat dan bisa diambil sebagai pelajaran berharga oleh kita
semua. Selanjutnya, saya akan bercerita tentang pengalaman saya
mengirim naskah ke penerbit. Jadi, jangan ke mana-mana. Tetaplah di tempat semula!

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2019 Town Square WR 06 | All Right Reserved