Rabu, Agustus 03, 2011

Surat Untuk Anakku

Surat Untuk Anakku

Surat Untuk Anakku

Oleh Imam Buchori

Alamat: Jl. Masjid V no.21, Pejompongan, Jakarta Pusat

e-mail: ikhwanul.fillah@gmail.com

Selangor, Malaysia, 11 Mei 2011 07:15

“Kriiing... Kriiing… Kriiing…”

“Hallo.”

“Assalamualaikum. Bisa berbicara dengan Ibu Dewi Kartika?”

“Wa’alaikumsalam. Ya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”

“Ini Om Wawan, Nak, dari kampung.”

”Oh... Om Wawan. Bagaimana kabarnya, Om?”

”Om baik-baik saja. Tapi Ibumu... ”

”Ada apa dengan Ibu, Om?”

”Segeralah pulang, Nak. Ibumu sangat merindukanmu.”

”Baik, Om. Besok Dewi akan pulang. Hari ini Dewi masih banyak kerjaan.”

”Ayolah, Nak, tinggalkan dulu kerjaanmu itu sebentar untuk ibumu.”

”Tapi, Om... ”

”Pokoknya kamu harus pulang hari ini juga. Ibumu sakit keras. Assalamualaikum”

”Wa... waalaikumsalam.”

Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, 11 Mei 2011 12:05

”Alhamdulillah sampai juga di bandara,” ucap Dewi dalam hati mengusap peluh di dahi, bergegas mencari taksi untuk mengantarkannya sampai rumah. Kecemasan nampak jelas dari raut wajahnya.

Tidak banyak perubahan. Kota Jogja masih sama seperti dua tahun lalu saat terakhir Dewi pulang ke kampung halaman untuk menghadiri acara resepsi pernikahan sahabatnya, Linda. Sebagai seorang konsultan akuntansi, banyak klien yang harus diurusnya setiap waktu. Bahkan terkadang waktu libur pun banyak klien yang mendatangi rumahnya untuk berkonsultasi mengenai laporan keuangan perusahaan mereka. Itulah yang mengakibatkan ia cukup sulit untuk bisa kembali ke kampung halamannya. Hari ini pun sebenarnya ia terpaksa pulang karena khawatir dengan keadaan ibunya. Atas seizin Pak Samsir, manajernya, ia terpaksa membatalkan semua pertemuan dengan klien sampai satu minggu ke depan.

”Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Ibu.” Perkataan itu diulang-ulangnya sepanjang perjalanan sebagai munajat agar ibunya baik-baik saja.

”Terimakasih ya, Pak,” ucap Dewi sambil menyodorkan sejumlah uang kepada sopir taksi yang telah mengantarkannya sampai di depan gang rumah. Ia berjalan setengah berlari. Perasaannya tambah tidak karuan. Jantungnya berdebar hebat. Darahnya mengalir lebih cepat dari ujung kaki dan mengumpul di kepala. ”Ah... ini cuma perasaanku saja,” gumamnya dalam hati menenangkan diri.

Langkahnya semakin cepat kemudian berubah menjadi berlari meninggalkan koper yang dibawanya setelah melihat dari jauh ada keranda di depan rumahnya. ”Ada apa dengan ibu? Semoga tidak terjadi apa-apa dengannya.”

”Syukurlah, Nak, kamu sudah pulang,” sambut Om Wawan yang memang sudah dari tadi menunggu kedatangannya.

”Apa yang terjadi, Om? Kenapa banyak orang di rumah Ibu?” tanya Dewi cemas. Tak terasa air matanya mulai menetes. Ini pasti pertanda buruk.

”Ibumu sudah tidak ada, Nak,” jawab Om Wawan tak kuasa membendung air matanya yang dari tadi ia tahan.

Om Wawan memeluk Dewi erat, memaksa air matanya mengalir. Ia memberontak, seketika melepaskan diri dari pelukan pamannya, lalu berlari dengan air mata yang bercucuran. Detak jantungnya kini melambat, seolah diam, tak dapat ia rasakan hingga tersungkur lemas setelah sampai di hadapan mayat ibunya yang sudah dikafani. Ditatapi wajah ibunya untuk yang terakhir kali. ”Ibuuu... Dewi sudah pulang, Bu. Bangunlah... Maafin Dewi, Bu....”

Air matanya mengalir sangat deras. Tak henti-hentinya ia mencoba membangunkan ibunya dan meminta maaf. Langit siang itu seolah-olah runtuh, menimpa bangunan dalam jiwanya hingga hancur. Ibu, orang tua satu-satunya yang masih dimiliki, kini telah menyusul Bapak. Matanya terus meratapi kepergian Ibu hingga akhirnya Om Wawan datang menenangkannya.

Ds. Jamus, Jogjakarta, 12 Mei 2011 07:00

Dewi masih mengurung diri di kamar ibunya. Pipinya sembab, bertanda semalam terjadi hujan lebat dari langit-langit matanya. Lagu ”Ambilkan Bulan, Bu” terdengar mengalun, mengiringi kesedihannya. Di rabanya foto yang ada di hadapannya. Sesekali terdengar ucapan penyesalan keluar dari bibirnya yang basah, ”maafin Dewi, Bu. Dewi terlambat pulang.”

Ia meraih sebuah kotak yang dari tadi tergeletak di atas meja, kemudian dibukanya. Kotak itu diberikan Om Wawan kemarin selesai upacara pemakaman jenazah Ibu. Di dalamnya terdapat selembar surat. Ia menahan air matanya untuk sementara, dibukanya surat itu.

Jogjakarta, 10 Mei 2011

Teruntuk: Anakku tersayang

yang selalu kurindu kedatangannya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Nak, bagaimana kabarmu di sana? Adakah yang melepaskan sepatumu saat kau lupa melepasnya dan tertidur pulas karena kelelahan sepulang kerja? Adakah yang menutupkan selimut untukmu tiap malam agar kamu tidak kedinginan? Adakah yang cerewet membangunkanmu tiap shubuh saat kamu susah dibangunkan? Adakah yang membuatkan air hangat untuk kamu mandi tiap pagi? Adakah yang menantikan kepulanganmu setiap malam?

Nak, rindukah kamu dengan suara Ibu yang menyanyikan sebuah lagu untuk mengantarmu tidur? Ibu rindu menyanyikan lagu kesukaanmu, “Ambilkan Bulan, Bu”, yang Ibu nyanyikan hampir setiap malam untuk mengantarkan tidurmu.

Nak, rindukah kamu dengan masakan Ibu yang kadang terlalu asin sehingga kamu menyindir Ibu kalau Ibu ingin menikah lagi? Ibu rindu candaanmu itu. Karena saat kamu tersenyum lebar, Ibu bisa tahu gigi serimu belum juga tumbuh.

Nak, rindukah kamu dengan almarhum bapakmu? Jika kamu rindu dan menangis, kemarilah, Nak. Ibu rindu untuk memelukmu dan mengatakan kalau Ibu akan selalu menjagamu untuk menenangkanmu.

Maafkan Ibu, Nak, jika ibu selalu meneleponmu hanya untuk sekedar menanyakan kabarmu. Terkadang kamu menjawabnya dengan cukup kasar dan singkat karena memang saat itu kamu sedang sibuk dengan pekerjaanmu. Tapi tak apalah, bisa mendengar suaramu saja, itu sudah cukup untuk mengobati satu persen kerinduan Ibu padamu.

Nak, Maafkan Ibu. Seperti kamu tahu, semakin hari usia Ibu semakin tua dan fisik ibu semakin lemah. Hingga terkadang Ibu tidak bisa bangun di sepertiga malam untuk mendoakanmu. Tetapi percayalah, Nak, Ibu selalu mendoakanmu setiap malam saat Ibu susah tidur karena merindukanmu.

Nak, sudah hampir satu tahun ini Ibu sering sakit-sakitan, dan Ibu merasa bahwa Ibu sudah tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi untuk menahan rasa sakit ini. Pulanglah, Nak, Ibu ingin menatap wajahmu untuk yang terakhir kali. Pulanglah, Nak, Ibu ingin memelukmu.

Dari : Ibumu yang sangat merindukanmu

Lalu diambilnya lipatan selimut yang ada di dalam kotak. Selimut bergambar Hello Kitty kesayangannya saat ia masih kecil. Pemberian alamarhum Bapak yang selalu menemaninya tidur dahulu. Ternyata Ibu masih menyimpannya. Mungkin untuk mengobati hatinya ketika tengah dirundung kerinduan dengan anaknya. Air mata Dewi yang tertahan sementara kembali tumpah ruah. Dipeluk dan diciuminya selimut itu berulang kali. ”Maafkan Dewi, Bu. Dewi sayang Ibu ....”

*********

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2019 Town Square WR 06 | All Right Reserved