Jumat, Juli 22, 2011

KULUKIS WAJAHMU DENGAN KATA-KATA

KULUKIS WAJAHMU DENGAN KATA-KATA

Cerpen Agus Pribadi*

Ku ambil kertas. Kuambil kata-kata. Kumulai melukis wajahmu.
Menawannya rembulan belum mampu mengalahkan keindahan kasihmu. Kokohnya batu karang belum mampu menandingi ketegaranmu. Indahnya segala kenangan manusia di muka bumi belum mampu menghapus ingatanku padamu.
Seperti kopi pahit dengan sedikit gula. Lebih terasa pahitnya. Hanya sedikit rasa manisnya. Kita pernah meneguk bersama kehidupan ini. Kehidupan dalam segelas kopi. Kita telah berulangkali meminumnya. Bahkan kita tuang lagi air panas ke dalamnya tatkala tersisa ampasnya.
Engkau pasti masih ingat tentang singkong yang kau temukan di sungai belakang rumah. Kemudian kau kupas kulitnya untuk direbus sebagai pengganjal perut kita. Karena tak ada beras untuk dimasak. Tak ada uang untuk membeli sayuran.
“Ibu menemukan beberapa singkong ini di sungai belakang rumah. Kondisinya masih baik. Bisa untuk mengganjal perut kita, Nak,” katamu padaku dan anakmu yang lainnya.
Engkau juga tak mungkin lupa pada rengekan kami waktu itu. Sehari menjelang lebaran, kami minta baju baru. Sedangkan hanya ada sedikit uang untuk membeli sekilo beras dan seikat kangkung.
“Bu, aku minta baju baru!” rengekku ketika itu.
“Iya Bu, aku juga!” pinta anakmu yang lainnya.
“Sabar ya Nak, Ibu belum punya uang, baju yang sudah ada kan masih bagus-bagus, nanti kalau Ibu sudah punya uang pasti ibu belikan baju baru,” ucapmu menghibur anak-anakmu.
Engkau juga tak kan lupa pada beberapa bungkus getuk yang kau beli di pagi hari untuk sarapan pagi. Sebagai pengganjal perut sebelum kami pergi ke sekolah.
Tanpa letih. Engkau setia melindungi kami. Dari segala masalah yang menimpa kami. Tempat bertanya meski bukan sarjana. Mengobati kami meski bukan dokter. Menasihati kami meski bukan psikolog.
“Bu, aku tadi terjatuh, kakiku berdarah,” rengekku.
“Iya, sini diobati,” ucapmu penuh kasih sayang.
“Bu, aku tadi hampir terjatuh waktu sedang olah raga di sekolahan,” kata anakmu yang lainnya.
“Ya, lain kali lebih hati-hati,” jawabmu penuh perhatian.
Semua itu bukan untuk satu atau dua hari, namun bertahun-tahun. Hingga kami besar. Hingga kami menikah. Hingga kami mandiri.
Dengan pakaian kebaya nan cantik kau mendampingiku wisuda. Senyummu menunjukkan kebanggaan ( bukan keangkuhan) atas keberhasilanku mengenyam pendidikan yang baik.
Dengan pakaian kebaya nan cantik juga kau mendampingiku saat prosesi pernikahanku. Pertanda dimulainya perpisahan diantara kita. Aku tinggal bersama istriku di luar kota. Engkau tinggal di rumah kita yag penuh kenangan.
Bulir airmata keharuan tak mampu kau bendung. Saat aku diterima menjadi PNS guru. Mengabdi pada negara. Ikut mencerdaskan anak-anak bangsa.
Tak hanya aku yang kau timang ketika bayi. Anakku pun kau timang sesaat setelah lahir. Kasihmu sungguh sepanjang jalan, kasihku hanya sepanjang galah.
***
Kini, perjumpaan denganmu adalah pengobat rindu. Meski hanya mengobrol sambil meneguk segelas kopi dan menikmati singkong rebus. Kita sering berbincang tentang cerita di masa lalu.
Kadang masih ku temukan gurat kesedihan di wajahmu. Memikirkan anak-anakmu yang lainnya. Yang nasibnya tak selamanya manis semanis gula. Sungguh, kasihmu tak pilih kasih. Sayangmu tak pandang sayang.
Kini, di ujung senja. Kita masih bisa berjumpa. Menikmati segelas kopi dan sepiring singkong rebus. Bercerita apa saja sesuka kita. Aku tak kan pernah bosan mendengarnya. Meski kau ulang-ulang ribuan kali kisah-kisah masa lalumu. Aku akan tetap menjadi pendengar yang terbaik.
Engkau masih suka bercerita tentang masa lalu kita yang menyedihkan. Karena memang masa lalu kita banyak tentang kesedihan. Kepahitan hidup. Kegetiran hidup.
“Kamu masih ingat kan tentang singkong itu?” tanyamu di rumah kenangan.
“Tentu masih Bu. Nggak akan pernah kita lupakan,” jawabku.
***
Kelak, jika engkau meninggalkan kami. Bukan tangis menyayat hati yang kau butuhkan. Bukan jabatan yang kau inginkan. Bukan pula emas berlian yang kau dambakan.
Namun, doa-doa kami. Kelakuan baik kami. Juga amal ibadah kami. Itu semua yang kau butuhkan. Agar kau teduh dan tenang dalam istirahatmu.
Sungguh indah sabda nabi. Surga berada di bawah telapak kakimu. Kelak kami ingin berjumpa denganmu di surga-Nya.
“Kelak kalau Ibu sudah tidak ada, jangan lupa doakan Ibu ya!” pintamu pada anak-anakmu.
“Iya Bu, aku akan selalu mendoakan ibu,” jawabku.
Rampung sudah aku melukis wajahmu. Dengan kata-kata yang aku miliki. Lukisan terindah karya sendiri yang pernah kumiliki. Telah ku pajang di dinding hati.[]

*Agus Pribadi. Kini tinggal di Banyumas.

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2019 Town Square WR 06 | All Right Reserved